Jumat, 08 Maret 2013

Sinopsis Anak dalam Perang



Judul asli                     : Anak dalam Perang
Pengarang                   : C. Anwar Tanjung
Penerbit                      : Balai Pustaka
Tebal                          : 134 halaman
Tahun terbit                : Cetakan pertama 1988
                                    Cetakan kedua 1992            
Ukuran                        : 21 cm




Desa Marunda suatu pagi, Badrun mengendap-endap diantara rumput-rumput. Hardikan itu semakin menggelegar di telinga, derap langkah yang semakin mendekat dan mengahadang sosok tubuh remaja laki-laki. Sersan Velbag beserta empat anak buahnya mengepung Badrun. Pertanyaan mengenai keberadaan Mat Pelor, seorang pejuang perampok ulung yang telah berpuluh-puluh kali merampok sembako Belanda dan memberikannya kepada rakyat-rakyat miskin yang kelaparan. Badrun seolah-olah tidak mengenal dan akhirnya SersanVelbag melepasnya karena kesal.
Badrun berlari dengan kancing baju yang terlepas diantara hembusan angin pantai. Dari kejauhan Bonto, sahabat Badrun memanggilnya. Mereka tertawa riang dan saling bercanda. Ditengah kerumunan burung-burung, Jajat, sahabat Badrun dan Bonto sedang berjalan di tengah desiran pasir putih. Kedua bocah itu menghampiri sahabat sejatinya. Ketiga remaja itu bermimpi  membuat perahu supaya mereka dapat mengarungi Laut Marunda dan dapat mencari ikan sendiri.
Seperti biasa saat mereka bertiga mengunjungi kedai kopi Bu Supi selalu ramai dengan berita-berita kematian rakyat pribumi ditembak mati oleh Belanda, kemudian mayat sering ditemukan di gerobak.
Badrun pulang saat awan hitam mulai nampak, ia tinggal bersama ibunya. Ayahnya, Pak Balang dan kakaknya Badra sedang berjuang diluar rumah bersama dinginnya malam. Tiba-tiba terdengar derap kaki dari luar, ternyata Badra. Badrun dan ibunya saling melepas rindu dan khawatir. Badra beristirahat dan meminta doa ibunya setiap dia pulang ke rumah demi perjuangannya. Tidak lama kemudian mereka bertiga dikejutkan oleh langkah tidak teratur, Sersan Velbag bersama anak buahnya datang mendobrak pintu. Badra langsung meminta pamit kepada ibunya dan lari menyelinap lewat pintu belakang. Anak buah Sersan berusaha mencari Badra dan mengejarnya, ibu Badrun ditendang oleh Sersan Velbag tanpa belas kasih sedikitpun, Badrun yang mulai meluap amarahnya menentang Belanda. Ia kemudian ditawan oleh Belanda dan dibawa ke tangsi penggorengan malam itu juga.
Mendengar kabar sahabatnya ditawan, Bonto dan Jajat menceritakannya pada Mat Pelor. Mat pelor yang pandai bersiasat membuat sebuah rencana. Mat Pelor meminta kepada kedua sahabat Badrun untuk menjenguk Badrun di tangsi penggorengan dan mengintai kondisi dan situasi di tangsi tersebut. Berangkatlah mereka berdua dengan segenap keberanian yang sedikit demi sedikit dipupuk, walaupun hanya berbekal nekad. Sesampainya mereka berdua di tangsi penggorengan, dengan membawa makanan rakyat untuk Badrun. Di ruang piket tangsi penggorengan selusin serdadu Belanda sedang piket melihat kedatangan kedua bocah itu dengan muka yang gerang. Sersan Six menyambut mereka dengan sambutan panas, dan mengambil makanan rakyat itu untuk dikirimkan ke Badrun, entah sampai atau tidak. Sersan Six lalu kembali, dan Badrun menitip salam kepada kedua sahabatnya dan ibunya. Mereka tidak dapat menemui tawanan saat itu, dua hari kemudian lagi baru mereka diperbolehkan. Bonto dan Jajat pulang menaiki delman. Mat Pelor yang menunggu kedatangan mereka tidak sabar mendengar tugas yang telah ia berikan.
Dullo penjaga tawanan mondar-mandir memeriksa setiap ruang tahanan. Dullo yang bernama asli Abdullah sebenarnya adalah seorang tawanan pula. Namun, karena ia dapat mengambil hati dan kepercayaan kapten Geboston, ia diangkat menjadi voorman yang bertugas mengawasi dan menjaga para tawanan lain. Dullo yang sejak tadi mencoba mengajak berbicara Pak Balang salah satu tawanan berat, tidak dihiraukan sama sekali. Dullo berusaha meyakinkan bahwa dirinya masih berjiwa pejuang, walaupun kelihatannya sekarang ia memihak Belanda. Dullo lalu berjalan-jalan lagi melihat-lihat tawanan lain. Ia mengajak bicara Badrun, mereka berdua mulai akrab. Pagi hari saat tawanan ringan dikeluarkan dan mulai disidang. Pak Balang melihat dari kejauhan anak bungsunya, hati Pak Balang mulai merintih khawatir dan sedih. Terpisah sejauh tiga meter di dalam tahanan yang berbeda.
Sementara itu, nan jauh disana Badra sedang memimpin regunya untuk melakukan serangkaian taktik gerilya. Regu yang dipimpin Badra akan melalukan penghadangan kereta yang membawa bahan-bahan logistik, berupa sembako, ternak-ternak, bahkan obat-obatan di atas jembatan Sungai Citarum. Semua anak buahnya memperhatikan Badra dengan serius dengan penuh semangat perjuagan.
Dua hari kemudian, Jajat dan Bonto kembali ke tangsi penggorengan untuk menemui Badrun. Dan seperti biasa Mat Pelor menunggu informasi dari Bonto di batas desa. Badrun diberi waktu lima menit untuk bertemu dengan sahabatnya. Badrun lalu memberitahu letak gudang senjata berada diujung barat. Dan Badrun menitikan pesan kepada mereka berdua: Kipas H-Sepuluh, D-tiga untuk abangnya. Bonto dan Jajat pulang dengan rasa penasaran maksud pesan rahasia itu. Mereka berdua tidak tahu pula keberadaan Badra. Mat Pelor semakin khawatir dengan  kedua pion itu. Empat serdadu Belanda tiba-tiba mengepung Mat Pelor, Sersan Velbag besama tiga anak buahnya, Bob, Johanes dan Gogee. Mat Pelor benar-benar terkepung tak ada celah untuk kabur.
***
Jajat dan Bonto mengamati mobil jip yang berada di dekat tegalan. Yongky, serdadu botak sedang bertugas menunggu jip itu. Jajat memiliki ide, dia membuat rencana untuk mencuri makanan yang ada di jip itu. Bonto lalu pergi menuju Yongky untuk mengambil perhatiannya. Setelah berhasil membawa Yongky jauh dari jip, Jajat lalu mengobrak-abrik jip, dan ternyata tak ada satupun makanan didalamnya, hanya ada senjata dan dua geranat. Jajat mengambil geranat itu dan membawanya keluar. Dia lempar salah satu geranat itu ke jip. Terjadilah suara yang menggelegar beserta asap dan kepingan-kepingan jip. Di tempat yang tidak begitu jauh, Velbag dan ketiga anak buahnya sangat terkejut. Dalam keadaan seperti itu, Mat Pelor memanfaatkannya. Dengan sigap dan mendadak ia menepiskan tangan Velbag. Mat Pelor memungut pistol Velbag yang terjatuh. Tubuh Gogee dan Velbag jatuh tersungur, setelah butir timah panas menembus mereka. Yongky yang mulai panik mencari Bonto, akhirnya dia sadar bahwa ia telah tertipu mentah-mentah. Johanes, Bob, dan Yongky juga tewas ditembak mati oleh Mat Pelor.
***
Bonto dan Jajat menemui Bu Balang untuk menanyakan keberadaan Badra. Bu Balang memberitahu Badra biasa memimpin perang gerilya di Bekasi-Karawang. Setelah itu Bonto, Jajat, dan Mat Pelor pergi merantau untuk mencari Badra dan menyampaikan pesan rahasia itu. Saat berada di sebuah masjid, seoran kakek tua yang dipanggil pak Haji memberikan wejangan kepada mereka bertiga. Pak Haji itu berkata untuk berhati-hati di daerah Bekasi, sebab daerah itu adalah daerah yang mudah untuk dilewati berbagai jalur baik dari rakyat maupun serdadu Belanda. Kedua pihak saling merebutkan untuk menduduki tempat itu, karena sangat strategis. Namun, lama-kelamaan tidak ada supun yang menempati. Kota itu kosong tanpa penghuni, jalan sepi karena mereka ketakutan dibantai oleh Belanda.
***
   Badra merasa kesakitan dibeberapa tubuhnya. Saat dia terbangun dari tidurnya, ia melihat sesosok gadis asing yang sedang merawat luka-lukanya. Pada malam itu, rencana penghadangan gagal total. Sebab, salah seorang Belanda telah mengetahuinya. Sekarang Badra sedang dirawat oleh Seruni, perawat rumah sakit darurat di Karawang. Namun, sekarang mereka tidak berada di Karawang melainkan disebuah kampung di tengah hutan yang bernama “Kampung Hutan”.
***
Memasuki Bekasi sama dengan memasuki daerah setan. Semua tampak menyeramkan, jalan sepi tanpa ada orang berlalu-lalang. Mat Pelor, Jajat, dan Bonto berjalan dengan penuh waspada. Setiap kali mereka berpapasan dengan orang untuk dimintai tanya mengenai keberadaan pejuang Badra selalu saja ketakutan dan kabur. Bahkan sebelum ditanyai mereka sudah mati ketakutan. Akhirnya mereka melihat seorang pengemis tua melintas, Mat Pelor menyuruh Bonto untuk melepas bajunya dan Jajat mengulapkan lumpur di badan Bonto. Mat Pelor yakin bahwa pengemis itu adalah pejuang yang sedang menyamar. Bonto lalu menghampiri pengmis yang membawa kecapi tua dan bernyanyi-nyanyi tanpa ujung. Bonto mulai menanyakan keberadaan Badra, setelah berulang kali pengemis yang ternyata anak laki-laki muda tidak menggubrisnya dan tetap menyanyikan lagu tanpa ujung itu dengan memainkan kecapi tuanya. Bonto mulai kesal sehingga ia menggambil kecapi itu dan melemparkannya kekepalanya dan pecah. Pengemis itu meraung-raung menangisi kecapinya. Tiba-tiba jip Belanda datang dan membawa mereka ke dalam, Bonto mulai berlagak seperti orang gila sambil memukul-mukul perut serdadu Belanda. Berulangkali mengucapkan apa ? apa?. Pengemis itu berkata “Kampung Hutan”. Betapa gembiranya Bonto setelah sekian lama menunggu. Kemudian Bonto dilempar keluar oleh Belanda.
Pergilah mereka bertiga ke kampung itu, disana mereka mengunjungi rumah pak lurah untuk bertanya mengenai Badra. Bertemulah mereka dengan Badra saat Seruni, anak pak lurah, memanggil mereka bertiga karena Badra ada di ruang belakang. Mat Pelor menyampaikan pesan Badrun. Pesan itu berarti hari sepuluh jam tiga. Badra merunduk dan pikiranya tercurahkan pada persoalan penting yang baru diterimanya. Kemudian Dia menugaskan Jajat untuk menemui Badrun dan menyampaikan pesan bahwa rencana diundur H-dua belas D-tiga. Jajat dengan langkah pasti menuju tangsi penggorengan malam itu juga.
Badrun kaget dan sedikit kecewa dengan berita yang disampaikan Jajat, yang ditangkap pula oleh Belanda saat ia tiba tengah malam, dan dia dipindahkan ke WC supaya tidak seruangan dengan Badrun. Badrun langsung memberitahukan berita penting itu ke Dullo. Pesan itu berarti bahwa rencana penyerangan tangsi penggorengan oleh pasukan Badra akan diundur dan rencana Badrun dan Dullo untuk kabur bersama tawanan lain haru diundur pula.
Tanggal sebelas pagi, pasukan Badra yang telah dibagi menjadi empat kelompok mulai beraksi. Mereka mulai menyelinap dikegelapan pagi untuk memperjuangkan rakyat jelata. Kelompok Badra kurang beruntung sebab mereka terjebak ranjau Belanda. Badra terluka parah pada kakinya, ia menyuruh anak buahnya untuk tetap melanjutkan tanpa mempedulikan dirinya. Datanglah Seruni dengan sigap mengobati Badra. Dia datang bersama pak lurah dan tukang kebunnya, Gombloh. Perjuangan tetap dilaksanakan sampai titik darah penghabisan. Saat waktu menunjukan pukul tiga tepat, peperangan sudah diambang pintu. Mat Pelor dengan siasat cerdiknya melempar geranat untuk mengalihkan perhatian Belanda. Kelompok Bonto yang ditugaskan untuk menuju ruang senjata, mulai menyelinap dan berhasil mendobrak pintu ruang senjata. Badrun, Jajat, dan Bonto dengan sigap mengambil senjata yang mereka suka, para tawanan pun langsung mengambilnya dan dapat menggunakannya dengan benar setelah mendengarkan instruksi cepat dari Mat Pelor. Sersan Geboston yang tengah mabuk panik bukan main, ia hanya bersembunyi di bawah kolong meja. Sementara itu dua anak buahnya Sesan Six dan Bronx sudah meluap-luap kemarahannya dengan Dullo yang ternyata penghianat sejati Belanda. Sersan Six yang tengah gelagapan mati tertembak oleh para tawanan. Sedangkan Sersan Geboston mati ketakutan setelah jatuh terpungkur bersimbah darah tertembus timah panas yang cepat dari Pak Balang. Bronx dan Dullo saling mencari karena sudah sekian lama ingin melampiaskan kegatalan mereka untuk membunuh. Nasib Dullo yang tidak beruntung, dia tertembus dua butir timah panas oleh Bronx. Senjata Bronx yang habis setelah peluncuran dua peluru, dalam sekejap tertembak mati oleh Dullo. Serdadu Belanda mulai berhamburan keluar dari tangsi, kabur ke tangsi lainnya. Tangsi penggorengan sekarang dibawah kekuasaan pejuang. Impian Badra ,Badrun, dan Mat Pelor kini telah tercapai. Namun, mereka belum pantas untuk membusungkan dada, karena tangsi penggorengan masih sebagian kecil dari seluruh tangsi yang ada di tanah air. Perjuangan mereka belum berakhir, mereka harus rela berkorban tenaga bahkan nyawa untuk mengusir Belanda itu hingga bertekuk lutut di hadapan rakyat pribumi.






Judul                    : Memupuk Keberanian Demi Perjuanagan
Data buku          :
a.       Judul                  : Anak Dalam Perang
b.      Pengarang          : C. Anwar Tanjung
c.       Penerbit             : Balai Pustaka
d.      Tahun terbit       : Cetakan pertama 1988
                            Cetakan kedua 1992
e.       Tebal                  : 134 halaman
f.       Kota terbit         : Jakarta
Pembukaan
a.       Biografi singkat pengarang
C. Anwar Tanjung dilahirkan di Tanah Deli (Sumut) 10 Maret 1952, beragama Islam. Selesai SMA 1972, bekerja di PT MASA MERDEKA di Jakarta 1974-1975, kemudian terjun pada dunia perfilman, hingga sekarang. Banyak menulis cerita pendek, cerita anak-anak, cerita remaja, esai, puisi, artikel sastra dan budaya. Tahun 1976 memenangkan penulisan dalam rangka peringatan Hari Pahlawan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI. Buku-buku yang sudah terbit :
o   Anak Nelayan
o   Putra Desa
o   Sejuta Kebahagiaan
o   Putra Harapan Bangsa
o   Anak yang Berjasa
o   Informasi Kecil
b.      Pembandingan buku sejenis
Jika dibandingkan dengan novel sejenis yang berjudul Putra Harapan Bangsa, keduanya menceritakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Susunan kalimatnya sama-sama membangkitkan gelora pembaca untuk mencapai kemerdekaan.
c.       Kekhasan sosok pengarang
Menceritakan hal-hal tentang kemerdekaan dan perjuangan Indonesia.
d.      Keunikan buku
Dapat menambahkan rasa nasionalisme dan patriotisme terhadap bangsa.
e.       Tema buku
Perjuangan rakyat Indonesia.
f.       Kritik
            Dari segi cover kurang menarik dan sedikit tidak sesuai, karena warna yang tidak begitu bagus terlihat kusam dan pengilustrasian anak kecil yang kelihatan gemuk dan berisi, padahal dalam zaman penjajahan rakyat kurang makan dan begitu sengsaranya sehingga lebih baik anak tersebut diilustrasikan dengan badan yang agak kurus, sehingga kesan kondisi zaman penjajahan akan nampak.
            Dari segi format tulisan kurang menarik terkesan sangat formal, lebih baik format tulisan diganti dengan format yang lebih santai, dan tiap halaman lebih baik diberi hiasan mengenai peperangan, seperti gambar pistol dan bambu runcing.  
g.    Kesan
Saat membaca seolah-olah melihat film dilayar televisi otak, perasaan ikut bergetar dalam berbagai kondisi cerita terebut. Memberikan suatu pesan yang membangun dan dapat menyadarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan dapat memberi nasihat kepada orang lain mengenai pesan cerita itu.
h.         Paparan singkat penerbit
Balai Pustaka adalah sebuah perusahaan penerbit Indonesia. Balai Pustaka didirikan dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda "Komisi untuk Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September 1908. Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi “Balai Poestaka” pada 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan sekitar 350 juta buku per tahun meliputi kamus, referensi, buku keterampilan sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.
       
i.          Apakah setelah itu Badrun dan kawan-kawan dapat menguasai tangsi   Belanda yang lain ?
Tubuh resensi
a.       Sinopsis            
   Seorang anak bernama Badrun yang beru berusia belasan tahun, tinggal berdua bersama ibunya. Ayah dan kakak laki-lakinya Pak Balang dan Badra harus memperjuangkan kemerdekaan dari tangan Belanda di alam yang gelap. Badrun memiliki dua sahabat sejati yaitu Jajat dan Bonto, mereka berdua selalu membantu satu sama lain dalam suka maupun duka. Mereka bertiga mempunyai sesosok laki-laki yang dijadikan panutan dalam berjuang yaitu Mat Pelor, seorang pejuang yang sudah berpuluh-puluh kali mencuri sembako Belanda kemudian diberikan kepada rakyat pribumi.
               Suatu malam Badrun tertangkap oleh Sersan Velbag , ia ditawan di tangsi penggorengan. Kedua sahabatnya dan Mat Pelor berjuang untuk membebaskan Badrun sekaligus menyerang tangsi penggorengan. Mereka mencari Badra untuk meminta bantuan setelah Bonto diberi pesan oleh Badrun untuk abangnya Badra, yaitu H-sembilan T-tiga. Badra kemudian menugaskan Jajat untuk menjenguk Badrun kembali di tangsi penggorengan dan menyampaikan pesan “rencana diundur H-dua belas T-tiga”, yang berarti penyerangan tangsi akan diadakan pada tanggal dua belas jam tiga pagi.
               Badra menyiapkan pasukannya yang kemudian dibagi menjadi empat kelompok. Pukul tiga pagi tanggal dua belas, tangsi penggorengan terkepung oleh serdadu Badra. Belanda mulai berhamburan keluar melarikan diri ke tangsi lainnya. Pak Balang yang ternyata ditawan juga dalam tangsi penggorengan bertemu dengan anaknya. Akhirnya tangsi tersebut dibawah kekuasaan rakyat pribumi berkat perjuagan dan pengorbanan bersama dibawah pimpinan Badra dan kecerdasan Mat Pelor.
b.      Ulasan singkat
Buku tersebut menceritakan tentang keberanian tiga sahabat bersama pejuang-pejuang lain demi mendapatkan kemerdekaan dari tangan Belanda dengan menguasai salah satu tangsi penggorengan di daerah mereka.
c.       Keunggulan buku
ü  Isinya sangat bagus dan memiliki dampak positif untuk dibaca dari berbagai kalangan.
ü  Semua pesan tersampaikan sehingga memberikan suatu wejangan mengenai kehidupan zaman perjuangan kepada pembaca.
ü  Bahasanya mudah dimengerti, tidak terlalu membingungkan, dan puitis .Serta dapat membawa perasaan pembaca ikut dalam cerita.
ü  Alurnya campur, sehingga membuat pembaca penasaran dan takjub.
ü  Diksinya tepat tidak mengandung makna yang ambigu.
d.      Kelemahan buku
ü  Dari segi cover yang terlihat membosankan.
ü  Kertas halamannya sudah terlihat agak tua.
ü  Format hurufnya terlihat formal.
e.       Kerangka buku
1.      Halaman judul.
2.      Kata pengantar
3.      Isi cerita
f.       Tinjauan bahasa
Bahasa yang digunakan adalah bhs. Indonesia.
g.      Kesalahan cetak
Tidak ada kesalahan cetak dalam novel tersebut.

Penutup
Sebaiknya buku ini penting untuk semua kalangan, khususnya remaja zaman sekarang yang jiwa patriotisme dan nasionalismenya mulai memudar.