Judul asli : Anak dalam Perang
Pengarang : C. Anwar Tanjung
Penerbit : Balai Pustaka
Tebal : 134 halaman
Tahun terbit : Cetakan pertama 1988
Cetakan
kedua 1992
Ukuran : 21 cm
Desa Marunda suatu pagi, Badrun mengendap-endap
diantara rumput-rumput. Hardikan itu semakin menggelegar di telinga, derap
langkah yang semakin mendekat dan mengahadang sosok tubuh remaja laki-laki.
Sersan Velbag beserta empat anak buahnya mengepung Badrun. Pertanyaan mengenai
keberadaan Mat Pelor, seorang pejuang perampok ulung yang telah berpuluh-puluh
kali merampok sembako Belanda dan memberikannya kepada rakyat-rakyat miskin
yang kelaparan. Badrun seolah-olah tidak mengenal dan akhirnya SersanVelbag
melepasnya karena kesal.
Badrun berlari dengan kancing baju yang terlepas
diantara hembusan angin pantai. Dari kejauhan Bonto, sahabat Badrun
memanggilnya. Mereka tertawa riang dan saling bercanda. Ditengah kerumunan
burung-burung, Jajat, sahabat Badrun dan Bonto sedang berjalan di tengah
desiran pasir putih. Kedua bocah itu menghampiri sahabat sejatinya. Ketiga
remaja itu bermimpi membuat perahu
supaya mereka dapat mengarungi Laut Marunda dan dapat mencari ikan sendiri.
Seperti biasa saat mereka bertiga mengunjungi kedai
kopi Bu Supi selalu ramai dengan berita-berita kematian rakyat pribumi ditembak
mati oleh Belanda, kemudian mayat sering ditemukan di gerobak.
Badrun pulang saat awan hitam mulai nampak, ia
tinggal bersama ibunya. Ayahnya, Pak Balang dan kakaknya Badra sedang berjuang
diluar rumah bersama dinginnya malam. Tiba-tiba terdengar derap kaki dari luar,
ternyata Badra. Badrun dan ibunya saling melepas rindu dan khawatir. Badra
beristirahat dan meminta doa ibunya setiap dia pulang ke rumah demi perjuangannya.
Tidak lama kemudian mereka bertiga dikejutkan oleh langkah tidak teratur,
Sersan Velbag bersama anak buahnya datang mendobrak pintu. Badra langsung
meminta pamit kepada ibunya dan lari menyelinap lewat pintu belakang. Anak buah
Sersan berusaha mencari Badra dan mengejarnya, ibu Badrun ditendang oleh Sersan
Velbag tanpa belas kasih sedikitpun, Badrun yang mulai meluap amarahnya
menentang Belanda. Ia kemudian ditawan oleh Belanda dan dibawa ke tangsi
penggorengan malam itu juga.
Mendengar kabar sahabatnya ditawan, Bonto dan Jajat
menceritakannya pada Mat Pelor. Mat pelor yang pandai bersiasat membuat sebuah
rencana. Mat Pelor meminta kepada kedua sahabat Badrun untuk menjenguk Badrun
di tangsi penggorengan dan mengintai kondisi dan situasi di tangsi tersebut.
Berangkatlah mereka berdua dengan segenap keberanian yang sedikit demi sedikit
dipupuk, walaupun hanya berbekal nekad. Sesampainya mereka berdua di tangsi
penggorengan, dengan membawa makanan rakyat untuk Badrun. Di ruang piket tangsi
penggorengan selusin serdadu Belanda sedang piket melihat kedatangan kedua
bocah itu dengan muka yang gerang. Sersan Six menyambut mereka dengan sambutan
panas, dan mengambil makanan rakyat itu untuk dikirimkan ke Badrun, entah
sampai atau tidak. Sersan Six lalu kembali, dan Badrun menitip salam kepada
kedua sahabatnya dan ibunya. Mereka tidak dapat menemui tawanan saat itu, dua
hari kemudian lagi baru mereka diperbolehkan. Bonto dan Jajat pulang menaiki
delman. Mat Pelor yang menunggu kedatangan mereka tidak sabar mendengar tugas
yang telah ia berikan.
Dullo penjaga tawanan mondar-mandir memeriksa setiap
ruang tahanan. Dullo yang bernama asli Abdullah sebenarnya adalah seorang
tawanan pula. Namun, karena ia dapat mengambil hati dan kepercayaan kapten
Geboston, ia diangkat menjadi voorman
yang bertugas mengawasi dan menjaga para tawanan lain. Dullo yang sejak tadi
mencoba mengajak berbicara Pak Balang salah satu tawanan berat, tidak
dihiraukan sama sekali. Dullo berusaha meyakinkan bahwa dirinya masih berjiwa
pejuang, walaupun kelihatannya sekarang ia memihak Belanda. Dullo lalu
berjalan-jalan lagi melihat-lihat tawanan lain. Ia mengajak bicara Badrun,
mereka berdua mulai akrab. Pagi hari saat tawanan ringan dikeluarkan dan mulai
disidang. Pak Balang melihat dari kejauhan anak bungsunya, hati Pak Balang mulai
merintih khawatir dan sedih. Terpisah sejauh tiga meter di dalam tahanan yang
berbeda.
Sementara itu, nan jauh disana Badra sedang memimpin
regunya untuk melakukan serangkaian taktik gerilya. Regu yang dipimpin Badra akan
melalukan penghadangan kereta yang membawa bahan-bahan logistik, berupa
sembako, ternak-ternak, bahkan obat-obatan di atas jembatan Sungai Citarum.
Semua anak buahnya memperhatikan Badra dengan serius dengan penuh semangat
perjuagan.
Dua hari kemudian, Jajat dan Bonto kembali ke tangsi
penggorengan untuk menemui Badrun. Dan seperti biasa Mat Pelor menunggu
informasi dari Bonto di batas desa. Badrun diberi waktu lima menit untuk
bertemu dengan sahabatnya. Badrun lalu memberitahu letak gudang senjata berada
diujung barat. Dan Badrun menitikan pesan kepada mereka berdua: Kipas H-Sepuluh, D-tiga untuk
abangnya. Bonto dan Jajat pulang dengan rasa penasaran maksud pesan rahasia
itu. Mereka berdua tidak tahu pula keberadaan Badra. Mat Pelor semakin khawatir
dengan kedua pion itu. Empat serdadu Belanda tiba-tiba mengepung Mat Pelor,
Sersan Velbag besama tiga anak buahnya, Bob, Johanes dan Gogee. Mat Pelor
benar-benar terkepung tak ada celah untuk kabur.
***
Jajat dan Bonto mengamati mobil jip yang berada di
dekat tegalan. Yongky, serdadu botak sedang bertugas menunggu jip itu. Jajat
memiliki ide, dia membuat rencana untuk mencuri makanan yang ada di jip itu.
Bonto lalu pergi menuju Yongky untuk mengambil perhatiannya. Setelah berhasil
membawa Yongky jauh dari jip, Jajat lalu mengobrak-abrik jip, dan ternyata tak
ada satupun makanan didalamnya, hanya ada senjata dan dua geranat. Jajat
mengambil geranat itu dan membawanya keluar. Dia lempar salah satu geranat itu ke
jip. Terjadilah suara yang menggelegar beserta asap dan kepingan-kepingan jip.
Di tempat yang tidak begitu jauh, Velbag dan ketiga anak buahnya sangat
terkejut. Dalam keadaan seperti itu, Mat Pelor memanfaatkannya. Dengan sigap
dan mendadak ia menepiskan tangan Velbag. Mat Pelor memungut pistol Velbag yang
terjatuh. Tubuh Gogee dan Velbag jatuh tersungur, setelah butir timah panas
menembus mereka. Yongky yang mulai panik mencari Bonto, akhirnya dia sadar
bahwa ia telah tertipu mentah-mentah. Johanes, Bob, dan Yongky juga tewas
ditembak mati oleh Mat Pelor.
***
Bonto dan Jajat menemui Bu Balang untuk menanyakan
keberadaan Badra. Bu Balang memberitahu Badra biasa memimpin perang gerilya di
Bekasi-Karawang. Setelah itu Bonto, Jajat, dan Mat Pelor pergi merantau untuk
mencari Badra dan menyampaikan pesan rahasia itu. Saat berada di sebuah masjid,
seoran kakek tua yang dipanggil pak Haji memberikan wejangan kepada mereka
bertiga. Pak Haji itu berkata untuk berhati-hati di daerah Bekasi, sebab daerah
itu adalah daerah yang mudah untuk dilewati berbagai jalur baik dari rakyat
maupun serdadu Belanda. Kedua pihak saling merebutkan untuk menduduki tempat
itu, karena sangat strategis. Namun, lama-kelamaan tidak ada supun yang
menempati. Kota itu kosong tanpa penghuni, jalan sepi karena mereka ketakutan
dibantai oleh Belanda.
***
Badra
merasa kesakitan dibeberapa tubuhnya. Saat dia terbangun dari tidurnya, ia
melihat sesosok gadis asing yang sedang merawat luka-lukanya. Pada malam itu,
rencana penghadangan gagal total. Sebab, salah seorang Belanda telah
mengetahuinya. Sekarang Badra sedang dirawat oleh Seruni, perawat rumah sakit
darurat di Karawang. Namun, sekarang mereka tidak berada di Karawang melainkan
disebuah kampung di tengah hutan yang bernama “Kampung Hutan”.
***
Memasuki Bekasi sama dengan
memasuki daerah setan. Semua tampak menyeramkan, jalan sepi tanpa ada orang
berlalu-lalang. Mat Pelor, Jajat, dan Bonto berjalan dengan penuh waspada.
Setiap kali mereka berpapasan dengan orang untuk dimintai tanya mengenai
keberadaan pejuang Badra selalu saja ketakutan dan kabur. Bahkan sebelum
ditanyai mereka sudah mati ketakutan. Akhirnya mereka melihat seorang pengemis
tua melintas, Mat Pelor menyuruh Bonto untuk melepas bajunya dan Jajat
mengulapkan lumpur di badan Bonto. Mat Pelor yakin bahwa pengemis itu adalah
pejuang yang sedang menyamar. Bonto lalu menghampiri pengmis yang membawa
kecapi tua dan bernyanyi-nyanyi tanpa ujung. Bonto mulai menanyakan keberadaan
Badra, setelah berulang kali pengemis yang ternyata anak laki-laki muda tidak
menggubrisnya dan tetap menyanyikan lagu tanpa ujung itu dengan memainkan
kecapi tuanya. Bonto mulai kesal sehingga ia menggambil kecapi itu dan
melemparkannya kekepalanya dan pecah. Pengemis itu meraung-raung menangisi
kecapinya. Tiba-tiba jip Belanda datang dan membawa mereka ke dalam, Bonto mulai
berlagak seperti orang gila sambil memukul-mukul perut serdadu Belanda. Berulangkali
mengucapkan apa ? apa?. Pengemis itu berkata “Kampung Hutan”. Betapa gembiranya
Bonto setelah sekian lama menunggu. Kemudian Bonto dilempar keluar oleh Belanda.
Pergilah mereka bertiga ke kampung
itu, disana mereka mengunjungi rumah pak lurah untuk bertanya mengenai Badra.
Bertemulah mereka dengan Badra saat Seruni, anak pak lurah, memanggil mereka
bertiga karena Badra ada di ruang belakang. Mat Pelor menyampaikan pesan
Badrun. Pesan itu berarti hari sepuluh jam tiga. Badra merunduk dan pikiranya
tercurahkan pada persoalan penting yang baru diterimanya. Kemudian Dia
menugaskan Jajat untuk menemui Badrun dan menyampaikan pesan bahwa rencana
diundur H-dua belas D-tiga. Jajat dengan langkah pasti menuju tangsi
penggorengan malam itu juga.
Badrun kaget dan sedikit kecewa
dengan berita yang disampaikan Jajat, yang ditangkap pula oleh Belanda saat ia
tiba tengah malam, dan dia dipindahkan ke WC supaya tidak seruangan dengan
Badrun. Badrun langsung memberitahukan berita penting itu ke Dullo. Pesan itu
berarti bahwa rencana penyerangan tangsi penggorengan oleh pasukan Badra akan
diundur dan rencana Badrun dan Dullo untuk kabur bersama tawanan lain haru
diundur pula.
Tanggal sebelas pagi, pasukan Badra
yang telah dibagi menjadi empat kelompok mulai beraksi. Mereka mulai menyelinap
dikegelapan pagi untuk memperjuangkan rakyat jelata. Kelompok Badra kurang
beruntung sebab mereka terjebak ranjau Belanda. Badra terluka parah pada
kakinya, ia menyuruh anak buahnya untuk tetap melanjutkan tanpa mempedulikan
dirinya. Datanglah Seruni dengan sigap mengobati Badra. Dia datang bersama pak
lurah dan tukang kebunnya, Gombloh. Perjuangan tetap dilaksanakan sampai titik
darah penghabisan. Saat waktu menunjukan pukul tiga tepat, peperangan sudah
diambang pintu. Mat Pelor dengan siasat cerdiknya melempar geranat untuk
mengalihkan perhatian Belanda. Kelompok Bonto yang ditugaskan untuk menuju
ruang senjata, mulai menyelinap dan berhasil mendobrak pintu ruang senjata.
Badrun, Jajat, dan Bonto dengan sigap mengambil senjata yang mereka suka, para
tawanan pun langsung mengambilnya dan dapat menggunakannya dengan benar setelah
mendengarkan instruksi cepat dari Mat Pelor. Sersan Geboston yang tengah mabuk
panik bukan main, ia hanya bersembunyi di bawah kolong meja. Sementara itu dua
anak buahnya Sesan Six dan Bronx sudah meluap-luap kemarahannya dengan Dullo
yang ternyata penghianat sejati Belanda. Sersan Six yang tengah gelagapan mati
tertembak oleh para tawanan. Sedangkan Sersan Geboston mati ketakutan setelah
jatuh terpungkur bersimbah darah tertembus timah panas yang cepat dari Pak
Balang. Bronx dan Dullo saling mencari karena sudah sekian lama ingin
melampiaskan kegatalan mereka untuk membunuh. Nasib Dullo yang tidak beruntung,
dia tertembus dua butir timah panas oleh Bronx. Senjata Bronx yang habis
setelah peluncuran dua peluru, dalam sekejap tertembak mati oleh Dullo. Serdadu
Belanda mulai berhamburan keluar dari tangsi, kabur ke tangsi lainnya. Tangsi
penggorengan sekarang dibawah kekuasaan pejuang. Impian Badra ,Badrun, dan Mat
Pelor kini telah tercapai. Namun, mereka belum pantas untuk membusungkan dada,
karena tangsi penggorengan masih sebagian kecil dari seluruh tangsi yang ada di
tanah air. Perjuangan mereka belum berakhir, mereka harus rela berkorban tenaga
bahkan nyawa untuk mengusir Belanda itu hingga bertekuk lutut di hadapan rakyat
pribumi.
|
| Judul :
Memupuk Keberanian Demi Perjuanagan |
Data
buku :
a. Judul
: Anak Dalam Perang
b. Pengarang : C. Anwar Tanjung
c. Penerbit : Balai Pustaka
d. Tahun
terbit : Cetakan pertama 1988
Cetakan kedua 1992
e. Tebal : 134 halaman
f.
Kota terbit : Jakarta
Pembukaan
a.
Biografi singkat pengarang
C. Anwar Tanjung dilahirkan di Tanah
Deli (Sumut) 10 Maret 1952, beragama Islam. Selesai SMA 1972, bekerja di PT
MASA MERDEKA di Jakarta 1974-1975, kemudian terjun pada dunia perfilman, hingga
sekarang. Banyak menulis cerita pendek, cerita anak-anak, cerita remaja, esai,
puisi, artikel sastra dan budaya. Tahun 1976 memenangkan penulisan dalam rangka
peringatan Hari Pahlawan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI.
Buku-buku yang sudah terbit :
o
Anak Nelayan
o
Putra Desa
o
Sejuta Kebahagiaan
o
Putra Harapan Bangsa
o
Anak yang Berjasa
o
Informasi Kecil
b.
Pembandingan buku sejenis
Jika dibandingkan dengan novel sejenis
yang berjudul Putra Harapan Bangsa, keduanya menceritakan tentang perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Susunan kalimatnya sama-sama membangkitkan gelora
pembaca untuk mencapai kemerdekaan.
c.
Kekhasan sosok pengarang
Menceritakan
hal-hal tentang kemerdekaan dan perjuangan Indonesia.
d.
Keunikan buku
Dapat menambahkan rasa nasionalisme dan
patriotisme terhadap bangsa.
e.
Tema buku
Perjuangan
rakyat Indonesia.
f.
Kritik
Dari
segi cover kurang menarik dan sedikit tidak sesuai, karena warna yang tidak
begitu bagus terlihat kusam dan pengilustrasian anak kecil yang kelihatan gemuk
dan berisi, padahal dalam zaman penjajahan rakyat kurang makan dan begitu
sengsaranya sehingga lebih baik anak tersebut diilustrasikan dengan badan yang
agak kurus, sehingga kesan kondisi zaman penjajahan akan nampak.
Dari
segi format tulisan kurang menarik terkesan sangat formal, lebih baik format
tulisan diganti dengan format yang lebih santai, dan tiap halaman lebih baik diberi
hiasan mengenai peperangan, seperti gambar pistol dan bambu runcing.
g. Kesan
Saat membaca
seolah-olah melihat film dilayar televisi otak, perasaan ikut bergetar dalam
berbagai kondisi cerita terebut. Memberikan suatu pesan yang membangun dan
dapat menyadarkan diri dari kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dan dapat
memberi nasihat kepada orang lain mengenai pesan cerita itu.
h.
Paparan singkat penerbit
Balai
Pustaka adalah sebuah perusahaan penerbit Indonesia. Balai Pustaka didirikan
dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (bahasa Belanda "Komisi untuk
Bacaan Rakyat") oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tanggal 14 September
1908. Commissie voor de Volkslectuur kemudian berubah menjadi “Balai Poestaka”
pada 22 September 1917. Balai Pustaka menerbitkan sekitar 350 juta buku per
tahun meliputi kamus, referensi, buku keterampilan sastra, sosial, politik,
agama, ekonomi, dan penyuluhan.
i.
Apakah setelah itu Badrun dan
kawan-kawan dapat menguasai tangsi
Belanda yang lain ?
Tubuh
resensi
a. Sinopsis
Seorang anak bernama Badrun yang beru berusia belasan tahun,
tinggal berdua bersama ibunya. Ayah dan kakak laki-lakinya Pak Balang dan Badra
harus memperjuangkan kemerdekaan dari tangan Belanda di alam yang gelap. Badrun
memiliki dua sahabat sejati yaitu Jajat dan Bonto, mereka berdua selalu
membantu satu sama lain dalam suka maupun duka. Mereka bertiga mempunyai
sesosok laki-laki yang dijadikan panutan dalam berjuang yaitu Mat Pelor,
seorang pejuang yang sudah berpuluh-puluh kali mencuri sembako Belanda kemudian
diberikan kepada rakyat pribumi.
Suatu malam Badrun tertangkap oleh Sersan Velbag , ia ditawan di tangsi penggorengan. Kedua
sahabatnya dan Mat Pelor berjuang untuk membebaskan Badrun sekaligus menyerang
tangsi penggorengan. Mereka mencari Badra untuk meminta bantuan setelah Bonto
diberi pesan oleh Badrun untuk abangnya Badra, yaitu H-sembilan T-tiga. Badra
kemudian menugaskan Jajat untuk menjenguk Badrun kembali di tangsi penggorengan
dan menyampaikan pesan “rencana diundur H-dua belas T-tiga”, yang berarti
penyerangan tangsi akan diadakan pada tanggal dua belas jam tiga pagi.
Badra menyiapkan pasukannya yang kemudian dibagi
menjadi empat kelompok. Pukul tiga pagi tanggal dua belas, tangsi penggorengan
terkepung oleh serdadu Badra. Belanda mulai berhamburan keluar melarikan diri
ke tangsi lainnya. Pak Balang yang ternyata ditawan juga dalam tangsi
penggorengan bertemu dengan anaknya. Akhirnya tangsi tersebut dibawah kekuasaan
rakyat pribumi berkat perjuagan dan pengorbanan bersama dibawah pimpinan Badra
dan kecerdasan Mat Pelor.
b. Ulasan
singkat
Buku tersebut
menceritakan tentang keberanian tiga sahabat bersama pejuang-pejuang lain demi
mendapatkan kemerdekaan dari tangan Belanda dengan menguasai salah satu tangsi
penggorengan di daerah mereka.
c. Keunggulan
buku
ü Isinya
sangat bagus dan memiliki dampak positif untuk dibaca dari berbagai kalangan.
ü Semua
pesan tersampaikan sehingga memberikan suatu wejangan mengenai kehidupan zaman
perjuangan kepada pembaca.
ü Bahasanya
mudah dimengerti, tidak terlalu membingungkan, dan puitis .Serta dapat membawa
perasaan pembaca ikut dalam cerita.
ü Alurnya
campur, sehingga membuat pembaca penasaran dan takjub.
ü Diksinya
tepat tidak mengandung makna yang ambigu.
d. Kelemahan
buku
ü Dari
segi cover yang terlihat membosankan.
ü Kertas
halamannya sudah terlihat agak tua.
ü Format
hurufnya terlihat formal.
e. Kerangka
buku
1. Halaman
judul.
2. Kata
pengantar
3. Isi
cerita
f. Tinjauan
bahasa
Bahasa yang digunakan adalah
bhs. Indonesia.
g. Kesalahan
cetak
Tidak ada kesalahan
cetak dalam novel tersebut.
Penutup
Sebaiknya buku ini
penting untuk semua kalangan, khususnya remaja zaman sekarang yang jiwa
patriotisme dan nasionalismenya mulai memudar.